Kamis, 20 Desember 2012


DEMAM BERDARAH DENGUE ATAU DEMAM DENGUE ?
Oleh : dr. Amroelloh
(Puskesmas Banda Sakti Kota Lhokseumawe)
 
I.                   Pendahuluan
Di Indonesia kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) pertama kali ditemukan di Surabaya pada tahun 1968, akan tetapi konfirmasi virologis baru didapat pada tahun 1972. Sejak itu penyakit tersebut menyebar ke berbagai daerah, sehingga sampai tahun 1980 seluruh propinsi di Indonesia kecuali Timor-Timur telah terjangkit penyakit. Sejak pertama kali ditemukan, jumlah kasus menunjukkan kecenderungan meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah yang terjangkit dan secara sporadis selalu terjadi KLB setiap tahun. KLB DBD terbesar terjadi pada tahun 1998, dengan Incidence Rate (IR) = 35,19 per 100.000 penduduk dan CFR = 2%. Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar 10,17%, namun tahun-tahun berikutnya IR cenderung meningkat yaitu 15,99 (tahun 2000); 21,66 (tahun 2001); 19,24 (tahun 2002); dan 23,87 (tahun 2003).

Di Lhokseumawe berdasarkan keterangan Kepala Bidang Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe Kepada Harian Analisa  bahwa tahun lalu jumlah kasus DBD dari Januari-Desember mencapai 632 kasus, sedangkan tahun 2009 sampai dengan 3 November tercatat sebanyak 416 kasus, kasus tertinggi DBD terjadi pada Agustus mencapai 90 kasus.
Peningkatan jumlah kasus DBD di Kota Lhokseumawe perlu adanya penanganan yang terus berkesinambungan dari Dinas Kesehatan setempat untuk menekan kejadian kasus DBD dan persamaan persepsi di kalangan dokter dalam penegakan diagnosis DBD agar dapat membantu dalam upaya tersebut di atas.

II.                Demam Berdarah Dengue
Demam dengue (DD) dan  Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik.
Penyakit DBD dan DD disebabkan oleh Virus Dengue dengan tipe DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4. Virus tersebut termasuk dalam group B Arthropod borne viruses (arboviruses) genus Flavivirus, keluarga Flaviviridea. Keempat type virus tersebut telah ditemukan di berbagai daerah di Indonesia antara lain Jakarta dan Yogyakarta. Virus yang banyak berkembang di masyarakat adalah virus dengue dengan tipe satu dan tiga.
Patogenesis terjadinya DBD hingga saat ini masih diperdebatkan. Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindroma renjatan dengue.
Penularan DBD terjadi melalui gigitan nyamuk  Aedes aegypti / Aedes albopictus betina yang sebelumnya telah membawa virus dalam tubuhnya dari penderita demam berdarah lain. Nyamuk Aedes aegypti  berasal dari Brazil dan Ethiopia dan sering menggigit manusia pada waktu pagi dan siang.
Orang yang beresiko terkena demam berdarah adalah anak-anak yang berusia di bawah 15 tahun, dan sebagian besar tinggal di lingkungan lembab, serta daerah pinggiran kumuh. Penyakit DBD sering terjadi di daerah tropis, dan muncul pada musim penghujan. Virus ini kemungkinan muncul akibat pengaruh musim/alam serta perilaku manusia.
Pencegahan penyakit DBD sangat tergantung pada pengendalian vektornya, yaitu nyamuk Aedes aegypti. Pengendalian nyamuk tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode yang tepat, yaitu :
1. Lingkungan
Metode lingkungan untuk mengendalikan nyamuk tersebut antara lain dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat, modifikasi tempat perkembangbiakan nyamuk hasil samping kegiatan manusia, dan perbaikan desain rumah. Sebagai contoh:
 Menguras bak mandi/penampungan air sekurang-kurangnya sekali seminggu. Mengganti/menguras vas bunga dan tempat minum burung seminggu sekali.
 Menutup dengan rapat tempat penampungan air. Mengubur kaleng-kaleng bekas, aki bekas dan ban bekas di sekitar rumah dan lain sebagainya.
2. Biologis
Pengendalian biologis antara lain dengan menggunakan ikan pemakan
jentik (ikan adu/ikan cupang), dan bakteri (Bt.H-14).
3. Kimiawi
Cara pengendalian ini antara lain dengan:
 Pengasapan/fogging (dengan menggunakan malathion dan fenthion), berguna untuk mengurangi kemungkinan penularan sampai batas waktu tertentu. Memberikan bubuk abate (temephos) pada tempat-tempat penampungan air seperti, gentong air, vas bunga, kolam, dan lain-lain.
Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah dengan mengkombinasikan cara-cara di atas, yang disebut dengan 3M Plus, yaitu menutup, menguras, menimbun. Selain itu juga melakukan beberapa plus seperti memelihara ikan pemakan jentik, menabur larvasida, menggunakan kelambu pada waktu tidur, memasang kasa, menyemprot dengan insektisida, menggunakan repellent, memasang obat nyamuk, memeriksa jentik berkala, dll sesuai dengan kondisi setempat.

III.             Diagnosis
Demam Dengue merupakan penyakit demam akut selama 2 – 7 hari, ditandai dengan dua  atau lebih manifestasi klinis sebagai berikut : nyeri kepala, nyeri retro orbital, mialgia/ atralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan ( petekie atau uji bendung positif), leukopenia, dan pemeriksaan serologi dengue positif atau di temukan pasien DD/ DBD yang sudah dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang sama.
Demam Berdarah Dengue (DBD) berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal di bawah ini terpenuhi :
·         Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik.
·         Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut :
o   Uji bendung positif
o   Petekie, ekimosis, atau purpura
o   Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi) atau perdarahan dari tempat lain.
o   Hematemesis atau melena
·         Trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/uL)
·         Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai berikut :
o   Peningkatan hematokrit > 20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis kelamin.
o   Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
o   Tanda kebocoran plasma seperti : efusi leura, asites atau hipoproteinemia.
Dari keterangan diatas terlihat bahwa perbedaan utama antara DD dan DBD adalah pada DBD ditemukan adanya kebocoran plasma.
Tabel 1 . Klasifikasi Derajat Penyakit Infeksi Virus Dengue
DD/
DBD
Derajat
Gejala
Laboratorium

DD

Demam disertai 2 atau lebih tanda : sakit kepala, nyeri retro-orbital, mialgia, atralgia
o    Leukopenia
o    Trombositopenia, tidak ditemukan bukti kebocoran plasma
o    Serologi Dengue Positif
DBD
I
Gejala di atas ditambah uji bendung positif
o    Trombositopenia ( < 100.000/uL) bukti kebocoran plasma ada

DBD
II
Gejala di atas ditambah perdarahan spontan
o    Trombositopenia ( < 100.000/uL) bukti kebocoran plasma ada

DBD
III
Gejala di atas ditambah kegagalan sirkulasi (kulit dingin dan lembab serta gelisah
o    Trombositopenia ( < 100.000/uL) bukti kebocoran plasma ada

DBD
IV
Syok berat disertai dengan tekanan darah dan nadi tidak terukur
o    Trombositopenia ( < 100.000/uL) bukti kebocoran plasma ada

·         DBD derajat III dan IV juga disebut sindrom Syok dengue (SSD)


Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke 3). Trombositopenia umumnya dijumpai pada hari ke 3-8 sejak timbulnya demam. Hemokonsentrasi dapat mulai dijumpai mulai hari ke 3 demam.5 Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan terjadinya gangguan koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis (PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP). Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan adalah albumin, SGOT/SGPT, ureum/ kreatinin. Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik melalui pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Di antara tiga jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai baku emas adalah metode isolasi virus. Namun, metode ini membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu yang lama (lebih dari 1–2 minggu), serta biaya yang relatif mahal. Oleh karena keterbatasan ini, seringkali yang dipilih adalah metode diagnosis molekuler dengan deteksi materi genetik virus melalui pemeriksaan reverse transcriptionpolymerase chain reaction (RT-PCR). Pemeriksaan RT-PCR memberikan hasil yang lebih sensitif dan lebih cepat bila dibandingkan dengan isolasi virus, tapi pemeriksaan ini juga relatif mahal serta mudah mengalami kontaminasi yang dapat menyebabkan timbulnya hasil positif semu. Pemeriksaan yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi, yaitu dengan mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue. Imunoserologi berupa IgM terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3 dan menghilang setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14, sedangkan pada infeksi sekunder dapat terdeteksi mulai hari ke 2.
Interprestasi Uji Imunoserologi :
Negatif

-          Mungkin bukan dengue
-          Terlalu cepat diperiksa,diulangi pada hari 3-5 demam
-          Chikungunya
-          Chlamydia, test utk IgM Chlamydia
Positif
-          IgM(+), IgG(+)
-          IgM(+), IgG(-)
-          IgM(-), IgG(+)
-          Infeksi skunder
-          Infeksi primer
-          Mungkin infeksi skunder
-          Mungkin riwayat infeksi sebelumnya

 Salah satu metode pemeriksaan terbaru yang sedang berkembang adalah pemeriksaan antigen spesifik virus Dengue, yaitu antigen nonstructural protein 1 (NS1). Antigen NS1 diekspresikan di permukaan sel yang terinfeksi virus Dengue. Masih terdapat perbedaan dalam berbagai literatur mengenai berapa lama antigen NS1 dapat terdeteksi dalam darah. Sebuah kepustakaan mencatat dengan metode ELISA, antigen NS1 dapat terdeteksi dalam kadar tinggi sejak hari pertama sampai hari ke 12 demam pada infeksi primer Dengue atau sampai hari ke 5 pada infeksi sekunder Dengue. Pemeriksaan antigen NS1 dengan metode ELISA juga dikatakan memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (88,7% dan 100%). Oleh karena berbagai keunggulan tersebut, WHO menyebutkan pemeriksaan deteksi antigen NS1 sebagai uji dini terbaik untuk pelayanan primer.
Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan lateral dekubitus kanan) dapat dilakukan untuk melihat ada tidaknya efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan dan pada keadaan perembesan plasma hebat, efusi dapat ditemukan pada kedua hemitoraks. Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan USG.
IV.             Penatalaksanaan
Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis. Penatalaksanaan  ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris. Proses kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan berkurang dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular.
Terapi cairan pada kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai apakah pemberian cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun asites yang masif perlu selalu diwaspadai. Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada trombositopenia yang berat)dan pemberian makanan dengan kandung-an gizi yang cukup, lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi saluaran cerna. Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa parasetamol, serta obat simptomatis untuk mengatasi keluhan dispepsia. Pemberian aspirin ataupun obat antiinflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari karena berisiko terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagaian atas (lambung/duodenum).
Protokol pemberian cairan sebagai komponen  utama penatalaksanaan DBD dewasa mengikuti 5 protokol, mengacu pada protokol WHO. Protokol ini terbagi dalam 5 kategori, sebagai berikut:
1. Penanganan tersangka DBD tanpa syok.
2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat.
3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20% .
4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa
5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa.


V.                Kesimpulan
Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan masalah kesehatan di Lhokseumawe  dan perlu dilakukan penanganan secara serius yang melibat seluruh elemen masyarakat.
Diagnosis DBD dan DD agar lebih cepat ditegakkan sebaiknya dilakukan secara klinis terutama di temapat pelayanan primer, dan dengan menerapkan kriteria WHO dalam menegakkan diagnosis diharapkan terdapat keseragaman kriteria dan tingkat keselahan akan menjadi kecil serta mengurangi biaya yang di keluarkan pasien dan pemerintah.
Usaha keseragaman ini juga agar pelaksana program dan rumah sakit dapat lebih sinergis dalam penentuan apakah seseorang masih mengalami Demam Dengue atau telah berlanjut DBD agar langkah pemerintah tidak menerapkan strategi pemberantasan di masyarakat, dan karena itu perlu diingat bahwa perbedaan utama antara DD dan DBD adalah pada DBD ditemukan adanya kebocoran plasma.


















Tidak ada komentar:

Posting Komentar